BAB II
ISI/PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sakit
Berdasarkan pendekatan biologis; dalam
cara perawatan, sakit dinyatakan dalam
hubungannya dengan tubuh yang melaksanakan fungsi biologis; dapat
dibedakan dengan jelas antara sehat dan sakit, tergantung pada orang yg bersangkutan, merasa
sakit atau tidak. Sedangkan berdasarkan
pendekatan medis, keadaan sakit jika seseorang secara badaniah, rohaniah, dan
secara sosial tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan
memanfaatkannya. Sakit bukan hanya penyimpangan badaniah tapi gangguan dalam
memfungsikan manusia secara total ( Stevens, 1999).
2.2 Faktor-faktor yang Menentukan Reaksi
Seseorang terhadap Penyakit
Setiap orang bereaksi lain terhadap
suatu penyakit. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pola reaksi,
antara lain:
1. Faktor
pribadi
Setiap orang bereaksi
dengan caranya sendiri dan itu dapat terlihat jelas dalam lingkungan kita, ini
disebabkan perkembangan kepribadian setiap orang adalah unik. Beberapa faktor
tertentu dalam perkembangan kepribadian adalah:
a. Keturunan;
b. Pendidikan;
c. Umur;
d. Lingkungan
social;
e. Finansial
positif.
Ini
berarti bahwa setiap orang bereaksi dengan caranya sendiri bagaimana ia
mengenal penyakit tersebut.
2. Faktor-faktor
sosial-kultural
Lingkungan
sosial berperan sangat besar terhadap penyakit. Misalnya penduduk pribumi di
beberapa daerah di Asia Tenggara, penyakit cacingan dan kudis sering timbul.
Mereka menganggap ini bukan penyakit tetapi sebagai suatu keadaan yang normal.
Di daerah Eropa Barat sebaliknya, pada gejala-gejala awal sudah dianggap serius
dan sering dianjurkan ke dokter.
3. Sifat
yang diakibatkan oleh sakit
Reaksi yang timbul bias
ditentukan oleh:
a. Prognosa
(bagaimana penyakit akan dilewati dengan baik?);
b. Lama
atau tidaknya penyakit ini berlangsung;
c. Bagaimana
penyakit itu berjalan;
d. Ada
tidaknya keluhan sakit;
e. Ada
tidaknya kecacatan;
f. dan
frekuensi mengalami sakit ( Stevens, 1999).
2.3 Reaksi Umum terhadap Sakit
Setiap orang bereaksi lain terhadap
penyakit, memungkinkan setidaknya untuk memperoleh pola reasi umum. Kebanyakan
pasien yang dirawat inap menderita kecacatan menetap atau menderita suatu
penyakit jangka panjang. Dalam reaksi mereka terhadap ini, dapat dikenal adanya
4 fase, yaitu:
1. Penyangkalan
Reaksi pertama atas
pemberitahuan bahwa seseorang menderita penyakit, biasanya adalah tidak bias
menerima. Ia tidak dapat melihat kenyataan dan berusaha menghindar.
Penyangkalan diri dapat berkembang jauh dan dalam beberapa waktu dapat berubah
menjadi fase yang ditandai dengan agresi.
2. Agresi
Pada fase ini, orang bereaksi
terhadap lingkungannya atas frustasi yang terjadi pada dirinya, dengan cara
melukai atau mencemaskan dirinya. Pasien tidak dapat bereaksi baik terhadap lingkungannya.
Agresi dapat berupa: makian, lemparan, dampratan, mencemoohkan, dan lainnya.
3. Depresi
Reaksi dalam fase ini
berada dalam bentuk putus asa yang dalam. Ia sering menarik diri dari
lingkungannya, menutup diri dalam situasi dirinya sendiri dan perasaan
kehilangan dirinya.
4. Penerimaan
Dalam fase ini reaksi terdiri dari
penilaian ulang terhadap nilai hidup dengan penyakit yang ada. Ia telah mulai
menemukan kesempatan dan jalan baru sehingga menurutnya hidup ini cukup
berharga untuk dinikmati.
2.4 Reaksi Spesifik terhadap Sakit
Ada
beberapa reaksi yang pada kejadian tertentu secara jelas dikemukakan, seperti:
a. Regresi
Regresi berarti kembali
ke pola tingkah laku yang terdahulu. Ia tidak sesuai dengan perkembangan
pribadinya dan tidak mengetahui tingkah laku yang ditampilkannnya. Yang
bersangkutan mempunyai keinginan yang lemah untuk melepaskan tanggungjawabnya.
Contoh: merengek, menangis, keras kepala.
b. Gelisah
Pasien yang dirawat
inap karena gangguan psikologis tidak dapat bereaksi dengan betul terhadap
perubahan keadaan, sering tidak merasa tenang. Kegelisahan terlihat dalam pola
geraknya( menggosok tangan, gemetar, mondar mandir, bicara cepat, gagap, tidak
dapat menalar dengan baik.
c. Apatis
Apatis berarti tak
adanya perasaan terhadap sentuhan-sentuhan psikis. Setiap individu dapat
bereaksi terhadap penyakit denga cara menutup diri terhadap lingkungannya,
tidak mengenal situasinya sendiri dan lingkungannya.
2.5 Pengertian Hospitalisasi
Menurut
Supartini (2004) dalam bukunya Konsep Dasar keperawatan Anak, hospitalisasi
merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi, dan perawatan
sampai pemulangannya kembali ke rumah. Sedangkan menurut Berton (1959), hospitalisasi
diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab yang
bersangkutan dirawat disebuah institusi seperti rumah perawatan.
Tingkah laku pasien yang dirawat di
rumah sakit dapat dikenal menurut Berton (1959 dalam Stevens, 1999) dari :
a. Kelemahan untuk berinisiatif;
b. Kurang/ tak ada perhatian tentang
hari depan;
c. Tak berminat (ada daya tarik);
d. Kurang perhatian cara berpakaian dan
segala sesuatu yang bersifat pandangan luas;
e. Ketergantungan dari orang-orang yang
membantunya.
2.6 Faktor-faktor
Penunjang Hospitalisasi
Ada beberapa faktor yang menunjang
hospitalisasi, antara lain :
1.
Kepribadian manusia
Tidak setiap orang peka terhadap hospitalisasi. Kita melihat
ada sebagian orang yang sangat menderita dan sangat tergantung pada pada apa
yang diberikan lingkungannya. Namun ada juga yang menangani sendiri dan tidak
bisa menerima keadaan itu begitu saja. Semua tergantung dari segi kepribadian
manusia itu sendiri.
2.
Kehilangan kontak dengan
dunia luar rumah perawatan
Pasien/ orang yang tinggal di rumah perawatan akan
kehilangan kontak yang sudah lama berjalan dengan terpaksa. Dia sudah tidak
berada lagi dalam lingkungan yang aman yang dijalaninya dalam sebagian besar
hidupnya. Orang-orang yang sering berkomunikasi dengannya kini hanya sekedar
bertamu dalam suasana yang berbeda, hanya sebagian kecil keluarga dekat yang
menemaninya. Sebagian besar kontak-kontak dengan orang senasib yang terbatas
dalam ruang perawatan yang sama dan dengan orang-orang yang membantunya. Dunia
mereka boleh dikatakan terbatas pada lingkungan kecil. Apalagi ia bergaul
dengan orang-orang yang sebenarnya bukan pilihannya.
3.
Sikap pemberi pertolongan
Ada perbedaan tugas antara pasien dan yang memberi
pertolongan. Ini terlihat jelas dalam kegiatan mereka sehari-hari. Pasien
biasanya menunggu dan yang menolong yang menentukan apa yang dilakukan dan
kapan. Pasien menunggu apa yang terjadi dan perawat yang tahu. Pasien
tergantung pada yang menolong dan ia terpaksa mengikuti. Ia sering merasa tidak
berdaya sehingga merasa harga dirinya berkurang. Hal ini membuat dirinya lebih
merasa tergantung. Perawat melakukan pekerjaan yang rutin dan berkembang
sedikit saja, hal ini akan membuat mereka menanamkan jiwa hospitalisasi pada
pasien.
4.
Suasana bagian perawatan
Suasana bagian sebagian besar ditentukan oleh sikap
personel/ perawat, baik oleh hubungan antar sesama perawat, maupun oleh sikap
mereka terhadap pasien dan tamu-tamu mereka. Cara berpakaian orang-orang di
bagian juga sangat penting. Cara manuasia bergaul, dapat
mempengaruhi sikap pasien. Ketergantungan antara personal biasanya mudah dapat
dipengaruhi. Pasien yang dirawat inap mendapat kesan bahwa mereka bukan yang
terpenting dalam perawatan ini. Juga ternyata bahwa orang-orang yang hanya
mendapatkan tugas melaksanakan pekerjaan dan tanpa bisa memberi tanggapan atau
saran maka pasien-pasien atau tamu-tamu mereka akan diperlakukan sama seperti
itu. Ini memperbesar kemungkinan adanya hospitalisasi.
5.
Obat-Obatan
Obat-obatan dapat memberi pengaruh besar pada sikap.
Beberapa obat-obatan dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti
hospitalisasi. Dengan sendirinya, kemungkinan hospitalisasi besar. Jika dipakai
obat-obatan yang dapat merangsang adanya sikap tadi.
2.7 Rentang
Respon Hospitalisasi
1.
Masa Bayi (0
sampai 1 tahun)
Masalah utama: dampak dari
perpisahan dengan orangtua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan
kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety /
cemas apabila berhadapan dng orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena
perpisahan. Reaksi yang sering muncul pada
anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai
sikap stranger anxiety. Respon terhadap nyeri biasanya menangis keras, pergerakan
tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
2.
Masa Todler (2 tahun sampai 3 tahun)
Sumber stress yang utama adalah cemas akibat
perpisahan. Respon perilaku anak sesuai
dgn tahapannya, yaitu:
a.
tahap protes (menagis
kuat, menjerit memanggil orangtua atau menolak perhatian yang diberikan orang
lain)
b.
tahap putus
asa (menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk
bermain dan makan, sedih, dan apatis)
c.
tahap
pengingkaran (mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan
anak mulai terlihat menyukai lingkungannya)
3.
Masa
prasekolah (3 tahun sampai 6 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk
berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan
menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya.
Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah adalah dengan
menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak
kooperatif terhadap petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat
anak kehilangan kontrol terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit mengharuskan
adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri.
Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai
hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau takut. Ketakutan anak
terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya
mengancam integritas tubuhnya. Hal ini
menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan
mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan
ketergantungan pada orangtua.
4.
Masa Sekolah (6 tahun sampai 12 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk
berpisah dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama
kelompok sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol juga terjadi
akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan
kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan
kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan
sosial, perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap
perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal
maupun nonverbal karena anak sudah mampu mengomunikasikannya. Anak usia sekolah
sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit
bibir dan/atau menggigit dan memegang sesuatu dengan erat.
5.
Masa Remaja
(12 tahun sampai 18 tahun)
Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah
sakit menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman
sebayanya. Telah diuraikan pada kegiatan belajar sebelumnya bahwa anak remaja
begitu percaya dan sering kali terpengaruh oleh kelompok sebayanya (geng).
Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan merasa kehilangan dan timbul
perasaan cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit
membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada
keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul
terhadap pembatasan aktivitas ini adalah dengan menolak perawatan atau tindakan
yang dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan
atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan
(isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan menimbulkan respon
anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan, dan/atau menolak kehadiran
orang lain.
2.8 Dampak
Hospitalisasi
Secara umum,
menurut Asmadi (2008), hospitalisasi menimbulkan dampak pada beberapa aspek,
yaitu:
1.
Privasi
Privasi dapat diartikan sebagai
refleksi perasaan nyaman pada diri seseorang dan bersifat pribadi. Sewaktu
dirawat di rumah sakit, klien kehilangan sebagai privasinya. Kondisi ini
disebabkan oleh beberpa hal :
a.
Selama dirawat di rumah sakit, klien berulang kali
diperiksa oleh petugas kesehatan (dalam hal ini perawat dan dokter). Bagian
tubuh yang biasanya dijaga agar tidak dilihat, tiba-tiba dilihat fdan disentuh
oleh orang lain. Hal ini tentu akan membuat klien merasa tidak nyaman.
b.
Klien adalah orang yang berada dalam keadaan lemah dan
bergantung pada orang lain. Kondisi ini cendurung membuat klien “pasrah” dan menerima apapun tindakan petugas
kesehatan kepada dirinya asal ia cepat sembuh.
2.
Gaya hidup
Klien yang dirawat di rumah sakit
sering kali mengalami perubahan pola gaya hidup. Hal ini disebabkan oleh
perubahan kondisi antara rumah sakit dengan rumah tempat tinggal klien, juga
oleh perubahan kondisi keehatan klien. Aktivitas hidup yang klien jalani
sewaktu sehat tentu berbeda dengan aktivitas yang dialaminya selama di rumah
sakit. Perubahan gaya hidup akibat hospitalisasi inilah yang harus menjadi
perhatian setiap perawat.
3.
Otonomi
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa individu yang sakit dan dirawat di rumah sakit berada dalam
posisi ketergantungan. Artinya, ia akan pasrah terhadap tindakan apapun yang
dilakukan oleh petugas kesehatan demi mencapai keadaan sehat. Ini meniunjukkan
bahwa klien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami perubahan otonomi. Untuk
mengatasi perubahan ini, perawat harus selalu memberitahu klien sebelum melakukan
intervensi apapun dan melibatkan klien dalam intervensi, baik secara aktif
maupun pasif.
4.
Peran
Peran yang dijalani sewaktu sehat
tentu berbeda dengan peran yang dijalani saat sakit.Tidak mengherankan jika
klien yang dirawat di rumah sakit mengalami perubahan peran. Perubahan yang
terjadi tidak hanya pada diri pasien, tetapi juga pada keluarga. Perubahan
tersebut antara lain :
a.
Perubahan peran. Jika salah seorang anggota keluarga
sakit, akan terjadi perubahan pera dalam keluarga. Sebagai contoh, jiak ayah
sakit maka peran jepala keluarga akan digantikan oleh ibu. Tentunya perubahan
peran ini mengharuskan dilaksanakannya tugas tertentu sesuai dengan peran
tersebut.
b.
Masalah keuangan. Keuangan keluarga akan terpengaruh
oleh hospitalisasi. Keuangan yang sedianya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarga akhirnya digunakan untukj keperluan klien yang dirawat.
Akibatnya, keuangan ini sangat riskan, terutama pada keluarga yang miskin.
Dengan semakin mahalnya biaya kesehatan, beban keuangan keluarga semakin
bertambah.
c.
Kesepian. Suasana rumah akan berubah jika ada seorang
anggota keluarga ytang dirawat. Suasana keluarga pun menjadi sepi karena
perhatian keluarga terpusat pada penanganan anggota keluarganya yang sedang
dirawat.
d.
Perubahan kebiasan sosial. Keluarga merupakan unit
terkecil dari masyarakat. Karenanya, keluarga pun mempunyai kebiasaan dalam
lingkungan sosialnya. Sewaktu sehat, keluarga mampu berperan serta dalam
kegiata sosial. Akan tetapi, saat salah seorang anggota keluarga sakit,
keterlibatan keluarga dalam aktivitas sosial di masyarakatpun mengalami
perubahan.
2.9 Masalah-masalah
Psikososial
Adapun beberapa masalah-masalah psikosial pasien
akibat dari dampak hospitalisasi, antara lain:
1.
Rasa Rakut
a.
Memandang
penyakit dan hospitalisasi sebagi hukuman
b.
Takut
terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal
c.
Pemahaman
yang tidak sempurna tentang penyakit
d.
Pemikiran
sederhana: hidup adalah mesin yang menakutkan
e.
Demonstrasikan:
managis,merengek, mengisap jempol, menyentuh bagian yang sakit berulang-ulang.
2.
Ansietas
a.
Cemas
dengan kejadian yang tidak kenal
b.
Protes
(menangis dan marah) , merengek.
c.
Putus
harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru, tidak berminat
d.
Menyendiri
terhadap lingkungan rumah sakit.
3.
Tidak Berdaya
a.
Merasa
gagal karena kehilangan ketrampilan
b.
Mimpi
buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam yang memberi
pengobatan/perawatan
c.
Protes
dan ansietas karena restrain
4.
Gangguan Citra Diri
a. Sedih terhadap perubahan citra diri
b. Takut terhadap prosedur invasive
c. Mungkin berpikir: bagian dalam
tubuhya akan keluar kalau sedang dicabut.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous.
(2012). Dampak hospitalisasi. Diakses
pada tanggal 3 September 2013 dari http://healthyenthusiast.com/dampak-hospitalisasi.html
Stevens, P.J.M, dkk.
(1999). Ilmu keperawatan jilid 1 edisi 2.
Jakarta: EGC
Supartini, Y. (2004). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta:
EGC