Selasa, 19 November 2013

Hospitalisasi


 
BAB II
ISI/PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sakit
Berdasarkan pendekatan biologis; dalam cara perawatan, sakit dinyatakan dalam  hubungannya dengan tubuh yang melaksanakan fungsi biologis; dapat dibedakan dengan jelas antara sehat dan sakit,  tergantung pada orang yg bersangkutan, merasa sakit atau tidak. Sedangkan  berdasarkan pendekatan medis, keadaan sakit jika seseorang secara badaniah, rohaniah, dan secara sosial tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan memanfaatkannya. Sakit bukan hanya penyimpangan badaniah tapi gangguan dalam memfungsikan manusia secara total ( Stevens, 1999).
2.2 Faktor-faktor yang Menentukan Reaksi Seseorang terhadap Penyakit
Setiap orang bereaksi lain terhadap suatu penyakit. Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pola reaksi, antara lain:
1.      Faktor pribadi
Setiap orang bereaksi dengan caranya sendiri dan itu dapat terlihat jelas dalam lingkungan kita, ini disebabkan perkembangan kepribadian setiap orang adalah unik. Beberapa faktor tertentu dalam perkembangan kepribadian adalah:
a.       Keturunan;
b.      Pendidikan;
c.       Umur;
d.      Lingkungan social;
e.       Finansial positif.
Ini berarti bahwa setiap orang bereaksi dengan caranya sendiri bagaimana ia mengenal penyakit tersebut.
2.      Faktor-faktor sosial-kultural
Lingkungan sosial berperan sangat besar terhadap penyakit. Misalnya penduduk pribumi di beberapa daerah di Asia Tenggara, penyakit cacingan dan kudis sering timbul. Mereka menganggap ini bukan penyakit tetapi sebagai suatu keadaan yang normal. Di daerah Eropa Barat sebaliknya, pada gejala-gejala awal sudah dianggap serius dan sering dianjurkan ke dokter.
3.      Sifat yang diakibatkan oleh sakit
Reaksi yang timbul bias ditentukan oleh:
a.       Prognosa (bagaimana penyakit akan dilewati dengan baik?);
b.      Lama atau tidaknya penyakit ini berlangsung;
c.       Bagaimana penyakit itu berjalan;
d.      Ada tidaknya keluhan sakit;
e.       Ada tidaknya kecacatan;
f.       dan frekuensi mengalami sakit ( Stevens, 1999).
2.3 Reaksi Umum terhadap Sakit
Setiap orang bereaksi lain terhadap penyakit, memungkinkan setidaknya untuk memperoleh pola reasi umum. Kebanyakan pasien yang dirawat inap menderita kecacatan menetap atau menderita suatu penyakit jangka panjang. Dalam reaksi mereka terhadap ini, dapat dikenal adanya 4 fase, yaitu:
1.      Penyangkalan
Reaksi pertama atas pemberitahuan bahwa seseorang menderita penyakit, biasanya adalah tidak bias menerima. Ia tidak dapat melihat kenyataan dan berusaha menghindar. Penyangkalan diri dapat berkembang jauh dan dalam beberapa waktu dapat berubah menjadi fase yang ditandai dengan agresi.
2.      Agresi
Pada fase ini, orang bereaksi terhadap lingkungannya atas frustasi yang terjadi pada dirinya, dengan cara melukai atau mencemaskan dirinya. Pasien tidak dapat bereaksi baik terhadap lingkungannya. Agresi dapat berupa: makian, lemparan, dampratan, mencemoohkan, dan lainnya.
3.      Depresi
Reaksi dalam fase ini berada dalam bentuk putus asa yang dalam. Ia sering menarik diri dari lingkungannya, menutup diri dalam situasi dirinya sendiri dan perasaan kehilangan dirinya.
4.      Penerimaan
Dalam fase ini reaksi terdiri dari penilaian ulang terhadap nilai hidup dengan penyakit yang ada. Ia telah mulai menemukan kesempatan dan jalan baru sehingga menurutnya hidup ini cukup berharga untuk dinikmati.
2.4 Reaksi Spesifik terhadap Sakit
Ada beberapa reaksi yang pada kejadian tertentu secara jelas dikemukakan, seperti:
a.       Regresi
Regresi berarti kembali ke pola tingkah laku yang terdahulu. Ia tidak sesuai dengan perkembangan pribadinya dan tidak mengetahui tingkah laku yang ditampilkannnya. Yang bersangkutan mempunyai keinginan yang lemah untuk melepaskan tanggungjawabnya. Contoh: merengek, menangis, keras kepala.
b.      Gelisah
Pasien yang dirawat inap karena gangguan psikologis tidak dapat bereaksi dengan betul terhadap perubahan keadaan, sering tidak merasa tenang. Kegelisahan terlihat dalam pola geraknya( menggosok tangan, gemetar, mondar mandir, bicara cepat, gagap, tidak dapat menalar dengan baik.
c.       Apatis
Apatis berarti tak adanya perasaan terhadap sentuhan-sentuhan psikis. Setiap individu dapat bereaksi terhadap penyakit denga cara menutup diri terhadap lingkungannya, tidak mengenal situasinya sendiri dan lingkungannya.

2.5  Pengertian Hospitalisasi
Menurut Supartini (2004) dalam bukunya Konsep Dasar keperawatan Anak, hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi, dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Sedangkan menurut Berton (1959), hospitalisasi diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab yang bersangkutan dirawat disebuah institusi seperti rumah perawatan.
Tingkah laku pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dikenal menurut Berton (1959 dalam Stevens, 1999) dari :
a.       Kelemahan untuk berinisiatif;
b.      Kurang/ tak ada perhatian tentang hari depan;
c.       Tak berminat (ada daya tarik);
d.      Kurang perhatian cara berpakaian dan segala sesuatu yang bersifat pandangan luas;
e.       Ketergantungan dari orang-orang yang membantunya.

2.6  Faktor-faktor Penunjang Hospitalisasi
Ada beberapa faktor yang menunjang hospitalisasi, antara lain :
1.      Kepribadian manusia
Tidak setiap orang peka terhadap hospitalisasi. Kita melihat ada sebagian orang yang sangat menderita dan sangat tergantung pada pada apa yang diberikan lingkungannya. Namun ada juga yang menangani sendiri dan tidak bisa menerima keadaan itu begitu saja. Semua tergantung dari segi kepribadian manusia itu sendiri.
2.      Kehilangan kontak dengan dunia luar rumah perawatan
Pasien/ orang yang tinggal di rumah perawatan akan kehilangan kontak yang sudah lama berjalan dengan terpaksa. Dia sudah tidak berada lagi dalam lingkungan yang aman yang dijalaninya dalam sebagian besar hidupnya. Orang-orang yang sering berkomunikasi dengannya kini hanya sekedar bertamu dalam suasana yang berbeda, hanya sebagian kecil keluarga dekat yang menemaninya. Sebagian besar kontak-kontak dengan orang senasib yang terbatas dalam ruang perawatan yang sama dan dengan orang-orang yang membantunya. Dunia mereka boleh dikatakan terbatas pada lingkungan kecil. Apalagi ia bergaul dengan orang-orang yang sebenarnya bukan pilihannya.
3.      Sikap pemberi pertolongan
Ada perbedaan tugas antara pasien dan yang memberi pertolongan. Ini terlihat jelas dalam kegiatan mereka sehari-hari. Pasien biasanya menunggu dan yang menolong yang menentukan apa yang dilakukan dan kapan. Pasien menunggu apa yang terjadi dan perawat yang tahu. Pasien tergantung pada yang menolong dan ia terpaksa mengikuti. Ia sering merasa tidak berdaya sehingga merasa harga dirinya berkurang. Hal ini membuat dirinya lebih merasa tergantung. Perawat melakukan pekerjaan yang rutin dan berkembang sedikit saja, hal ini akan membuat mereka menanamkan jiwa hospitalisasi pada pasien.
4.      Suasana bagian perawatan
Suasana bagian sebagian besar ditentukan oleh sikap personel/ perawat, baik oleh hubungan antar sesama perawat, maupun oleh sikap mereka terhadap pasien dan tamu-tamu mereka. Cara berpakaian orang-orang di bagian juga sangat penting. Cara manuasia bergaul,  dapat mempengaruhi sikap pasien. Ketergantungan antara personal biasanya mudah dapat dipengaruhi. Pasien yang dirawat inap mendapat kesan bahwa mereka bukan yang terpenting dalam perawatan ini. Juga ternyata bahwa orang-orang yang hanya mendapatkan tugas melaksanakan pekerjaan dan tanpa bisa memberi tanggapan atau saran maka pasien-pasien atau tamu-tamu mereka akan diperlakukan sama seperti itu. Ini memperbesar kemungkinan adanya hospitalisasi.
5.      Obat-Obatan
Obat-obatan dapat memberi pengaruh besar pada sikap. Beberapa obat-obatan dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti hospitalisasi. Dengan sendirinya, kemungkinan hospitalisasi besar. Jika dipakai obat-obatan yang dapat merangsang adanya sikap tadi.

2.7  Rentang Respon Hospitalisasi
1.      Masa Bayi (0 sampai 1 tahun)
Masalah utama: dampak dari perpisahan dengan orangtua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety / cemas apabila berhadapan dng orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering  muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Respon terhadap nyeri biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
2.       Masa Todler (2 tahun sampai 3 tahun)
Sumber stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak  sesuai dgn tahapannya, yaitu:
a.       tahap protes (menagis kuat, menjerit memanggil orangtua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain)
b.      tahap putus asa (menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan,  sedih, dan apatis)
c.       tahap pengingkaran (mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya)
3.      Masa prasekolah (3 tahun sampai 6 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Hal  ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orangtua.
4.       Masa Sekolah (6 tahun sampai 12 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena anak sudah mampu mengomunikasikannya. Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan/atau menggigit dan memegang sesuatu dengan erat.
5.      Masa Remaja (12 tahun sampai 18 tahun)
Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya. Telah diuraikan pada kegiatan belajar sebelumnya bahwa anak remaja begitu percaya dan sering kali terpengaruh oleh kelompok sebayanya (geng). Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap pembatasan aktivitas ini adalah dengan menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan (isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan menimbulkan respon anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan, dan/atau menolak kehadiran orang lain.

2.8  Dampak Hospitalisasi
Secara umum, menurut Asmadi (2008), hospitalisasi menimbulkan dampak pada beberapa aspek, yaitu:
1.       Privasi
Privasi dapat diartikan sebagai refleksi perasaan nyaman pada diri seseorang dan bersifat pribadi. Sewaktu dirawat di rumah sakit, klien kehilangan sebagai privasinya. Kondisi ini disebabkan oleh beberpa hal :
a.       Selama dirawat di rumah sakit, klien berulang kali diperiksa oleh petugas kesehatan (dalam hal ini perawat dan dokter). Bagian tubuh yang biasanya dijaga agar tidak dilihat, tiba-tiba dilihat fdan disentuh oleh orang lain. Hal ini tentu akan membuat klien merasa tidak nyaman.
b.      Klien adalah orang yang berada dalam keadaan lemah dan bergantung pada orang lain. Kondisi ini cendurung membuat klien  “pasrah” dan menerima apapun tindakan petugas kesehatan kepada dirinya asal ia cepat sembuh.
2.      Gaya hidup
Klien yang dirawat di rumah sakit sering kali mengalami perubahan pola gaya hidup. Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi antara rumah sakit dengan rumah tempat tinggal klien, juga oleh perubahan kondisi keehatan klien. Aktivitas hidup yang klien jalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan aktivitas yang dialaminya selama di rumah sakit. Perubahan gaya hidup akibat hospitalisasi inilah yang harus menjadi perhatian setiap perawat.
3.      Otonomi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu yang sakit dan dirawat di rumah sakit berada dalam posisi ketergantungan. Artinya, ia akan pasrah terhadap tindakan apapun yang dilakukan oleh petugas kesehatan demi mencapai keadaan sehat. Ini meniunjukkan bahwa klien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami perubahan otonomi. Untuk mengatasi perubahan ini, perawat harus selalu memberitahu klien sebelum melakukan intervensi apapun dan melibatkan klien dalam intervensi, baik secara aktif maupun pasif.
4.      Peran
Peran yang dijalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan peran yang dijalani saat sakit.Tidak mengherankan jika klien yang dirawat di rumah sakit mengalami perubahan peran. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada diri pasien, tetapi juga pada keluarga. Perubahan tersebut antara lain :
a.       Perubahan peran. Jika salah seorang anggota keluarga sakit, akan terjadi perubahan pera dalam keluarga. Sebagai contoh, jiak ayah sakit maka peran jepala keluarga akan digantikan oleh ibu. Tentunya perubahan peran ini mengharuskan dilaksanakannya tugas tertentu sesuai dengan peran tersebut.
b.      Masalah keuangan. Keuangan keluarga akan terpengaruh oleh hospitalisasi. Keuangan yang sedianya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga akhirnya digunakan untukj keperluan klien yang dirawat. Akibatnya, keuangan ini sangat riskan, terutama pada keluarga yang miskin. Dengan semakin mahalnya biaya kesehatan, beban keuangan keluarga semakin bertambah.
c.       Kesepian. Suasana rumah akan berubah jika ada seorang anggota keluarga ytang dirawat. Suasana keluarga pun menjadi sepi karena perhatian keluarga terpusat pada penanganan anggota keluarganya yang sedang dirawat.
d.      Perubahan kebiasan sosial. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Karenanya, keluarga pun mempunyai kebiasaan dalam lingkungan sosialnya. Sewaktu sehat, keluarga mampu berperan serta dalam kegiata sosial. Akan tetapi, saat salah seorang anggota keluarga sakit, keterlibatan keluarga dalam aktivitas sosial di masyarakatpun mengalami perubahan.
2.9  Masalah-masalah Psikososial
Adapun beberapa masalah-masalah psikosial pasien akibat dari dampak hospitalisasi, antara lain:
1.      Rasa Rakut
a.       Memandang penyakit dan hospitalisasi sebagi hukuman
b.      Takut terhadap lingkungan dan orang yang tidak dikenal
c.       Pemahaman yang tidak sempurna tentang penyakit
d.      Pemikiran sederhana: hidup adalah mesin yang menakutkan
e.       Demonstrasikan: managis,merengek, mengisap jempol, menyentuh bagian yang sakit berulang-ulang.
2.      Ansietas
a.       Cemas dengan kejadian yang tidak kenal
b.      Protes (menangis dan marah) , merengek.
c.       Putus harapan : komunikasi buruk, kehilangan ketrampilan yang baru, tidak berminat
d.      Menyendiri terhadap lingkungan rumah sakit.
3.      Tidak Berdaya
a.       Merasa gagal karena kehilangan ketrampilan
b.      Mimpi buruk dan takut kegelapan, orang asing, orang berseragam yang memberi pengobatan/perawatan
c.       Protes dan ansietas karena restrain
4.      Gangguan Citra Diri
a.       Sedih terhadap perubahan citra diri
b.      Takut terhadap prosedur invasive
c.       Mungkin berpikir: bagian  dalam tubuhya akan keluar kalau sedang dicabut.
  

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2012). Dampak hospitalisasi. Diakses pada tanggal 3 September 2013 dari http://healthyenthusiast.com/dampak-hospitalisasi.html
Stevens, P.J.M, dkk. (1999). Ilmu keperawatan jilid 1 edisi 2. Jakarta: EGC
Supartini, Y. (2004). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC